Pelawat

free counters

Pengujung Istimewa

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...


Join us here

Jumaat, Disember 03, 2010

Pengaruh Melayu dalam masyarakat Bugis-Makasar

Salam, saya menemui sebuah artikel yang amat menarik setelah mengikuti link yang diberikan oleh cik Kowloon dari komentar blog MO. Saya rasa artikel ini amat molek sekiranya dijadikan posting di sini kerana ianya adalah suatu kajian yang dapat membuka  minda anak muda Melayu terutama di Malaysia yang masih lagi tidak kenal siapakan bangsa Melayu itu dan apakah sumbangan bangsa yang dikatakan jumud dan pemalas ini. Berikut adalah artikelnya yang diambil daripada Blog Serambi Melayu:


Sesungguhnya, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum mereka masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.

Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis (1511), tidak sedikit kerabat istana yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.



Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu. Baru pada 1621 orang-orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.


”Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa, peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang Melayu yang memegang peran penting di istana,” kata Mukhlis, yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).



Di zaman Raja Gowa X (1546-1565), misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajau yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa ke-2. Sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu, sampai dengan Syahbandar Incek Husa ketika Kerajaan Gowa kalah dalam perang melawan VOC tahun 1669.



Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incek Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juri tulis di istana ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah, Shair Perang Mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.



Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang Melayu di wilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam, tetapi juga di bidang pendidikan dan kebudayaan. Pada masa itulah naskah-naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Bugis.



Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. Salah satunya, penulisan ulang I La Galigo—karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah kesusastraan Indonesia—tahun 1860 oleh bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate.



”Namun, siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Ia adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Incek Ali Abdullah Datu Pabean, Syahbandar Makassar abad XIX, yang tak lain keturunan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,” tutur Mukhlis.



Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya ”generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan tubaji (Makassar) atau tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini menempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk ke struktur golongan bangsawan.



Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi Perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat ”Melayu-Bugis-Makassar” inilah sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan Kerajaan Gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam ”arus balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang disebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru Nusantara.



”Dalam diri para tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, kehadiran masyarakat baru Nusantara ini berperan penting dalam sejarah Nusantara abad XVIII-XIX. Peran ini masih berlanjut hingga kini,” kata Mukhlis PaEni.



Diaspora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang, harus diakui, mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari dinamika sejarah masyarakat Nusantara. (ken)

Kompas
16 Jnuari 2009

Tiada ulasan:

Catat Ulasan