بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم
السلام عليكم
Pengujung Istimewa
Rabu, Februari 02, 2011
konflik penduduk Mindanao dan Republik Filipina
Konflik Mindanao mulai tercermin tatkala regim kolonial Spanyol yang menguasai kawasan Filipina Utara, atau yang lebih dikenal dengan kepulauan Luzon, mencoba memperluas kekuasaan ke daerah selatan. Regim Spanyol hampir tidak mengalami perlawanan yang berarti tatkala menguasai wilayah kepulauan bagian tengah, yang lebih dikenal sebagai daerah Visayas.
Namun ketika Spanyol mencoba melakukan penetrasi kekuasaan ke wilayah Mindanao, terutama dibagian paling utara, regim Spanyol mendapatkan perlawanan yang sangat keras dari beberapa kasultanan Islam yang kokoh berdiri di Mindanao. Spanyol berulang kali melakukan upaya untuk menguasai Mindanao dalam kurun waktu hampir 350 tahun, namun usaha tersebut mengalami kegagalan karena kohesifnya politik kasultanan di Mindanao, baik di kasultanan Sulu, Maguindanao ataupun di Sultan Kudarat. Ketiga-ketiganya mampu membangun pertahanan yang kokoh untuk menghadapi berbagai strategi yang diterapkan pemerintah Spanyol untuk menguasai Mindanao secara keseluruhan.
Tatkala regim kolonial Spanyol berhasil dikalahkan oleh kekuatan Amerika Serikat, melalui perjanjian Paris dalam formula “barter” . Namun yang menjadi persoalan besar adalah Amerika Serikat berupaya memperluas wilayah kolonialnya di Filipina sampai ke wilayah selatan, yang selama ini tidak pernah dikuasai Mindanao. Pada awalnya upaya memperluas wilayah ke selatan dilakukan secara persuasif. Amerika Serikat mengundang beberapa Sultan di Mindanao untuk diajak berbincang tentang upaya pengembangan kawasan secara bersama-sama.
Langkah ini disambut cukup apresiatif oleh beberapa sultan Mindanao. Dalam sebuah ulasan menarik yang ditulis McKenna tentang upaya demonstrative Amerika Serikat untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat dapat menguasai Mindanao secara mudah dengan kekuatan senjata yang modern. Konflik dengan Amerika Serikat semula tidak dalam bentuk perang terbuka terhadap kasultananan Maguindanao, Sulu maupun Cotabato. Hubungan antara Kasultanan di Mindanao berjalan secara normal, terbangun kordinasi yang baik untuk saling menghormati satu sama lain. Perang terbuka baru terjadi manakala pemerintah Filipina secara sefihak memasukkan wilayah Mindanao sebagai bagian integral dalam wilayah administratif Filipina.
Yang menjadi masalah yang rumit adalah proses transisi kemerdekaan Filipina, yang kemudian menafsirkan kesediaan bekerjasama kasultanan Islam di Mindanao dengan Amerika Serikat sebagai bentuk dari pengakuan atas kekuasaan Amerika Serikat atas Mindanao. Bangsamoro kemudian mengajukan petisi kepada pemerintah Amerika Serikat agar Bangsamoro tidak dimasukkan dalam wilayah Filipina. Langkah ini dilakukan dala 3 tahap, yani petisi masyarakat Sulu, tertanggal 9 Juni 1921. Kemudian dilanjutkan dengan petisi, yang sering dikenal dengan Zamboanga Declaration, tertanggal 1 Februerai 1924, dan petisi yang terakhir diajukan kembali pada tanggal 18 Maret 1935, yang dikenal dengan Dansalan Declaration, di mana 120 datuk Bangsamoro terutama dari Lanao mengeluarkan “Deklarasi Dansalan” yang menyatakan pemisahan diri dari pemerintahan persemakmuran dan memilih berada di bawah protektorat Amerika Serikat sampai masyarakat Bangsamoro dapat membentuk pemerintahan sendiri.
We do not want to be included in the Philippines for once an independent Philippines is launched, there will be trouble between us and the Filipinos because from time immemorial these two peoples have not lived harmoniously together. Our public land must not give to people other than the Moros.
Upaya damai yang ditempuh masyarakat Mindanao ternyata tidak mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah Amerika Serikat maupun pemerintah transisi Filipina, dan pada deklarasi kemerdekaan Filipina 4 Juli 1946, Mindanao menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah politik dan administratif Filipina. Masyarakat Mindanao masih mengupayakan upaya hukum dengan membuat Amilbangsa (HB 5682), yang menyatakan akan memisahkan diri dari pemerintah Filipina jika pemerintah Filipina tidak melakukan langkah-langkah persuasive dalam menyelesaikan status Mindanao.
Pemerintah Filipina menggunakan argumentasi kesamaan regim kolonial Amerika Serikat antara Luzon, Visayas dan Mindanao sebagai argument untuk memasukan wilayah Mindanao dalam wilayah kesatuan Filipina. Sedangkan dalam perspektif elit Mindanao, posisi kasultanan Mindanao otonom atas kekuasaan Spanyol, bahkan Amerika Serikat sekalipun. Bahkan sejarawan Mindanao, Jamail Rasul, mencoba mengungkap fakta bahwa para pejuang kemerdekaan Filipina, semisal Jose Rizal maupun Aguinaldo melihat Mindanao sebagai bagian dari mitra komunitas Luzon di mana memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan tidak terikat dengan proses politik yang ada di Luzon.
Datu Utdog Matalam, pendiri MIM menyebutkan empat alasan yang mendasari tuntutan pemisahan diri Bangsa Moro dari Filipina, yaitu:
1. The establishment of the provincial and municipal governments undermined the status of the traditional leaders, dislocated the authority and communications set up, and negated the existing coalition formation patterns, so necessary in the cooperative and communal ventures that the Muslims were accustomed to. In operation, these governments were disruptive and not functional
2. The imposition of a new legal system negated the judicial functions of the village elders. This caused a breakdown in social order and gave rise to a lot of social problems which exist up to this day
3. It was in the field of education where irreparable dislocations were created. The public school organization systematically alienated the school children. They were forced to learn new sets of values that put down the cultural milieu in which they grew
4. The transportation of settlers and land grabbers to Muslim provinces and the creation of agricultural colonies out of Muslim lands caused a lot of resentment in Muslim circles. In effect, this reduced the economic base of the Moroland
Pada tahun 1950-an, masyarakat Muslim Mindanao mulai menunjukkan minat untuk melanjutkan studi, baik yang didanai oleh pemerintah Filipina untuk mengambil studi di Manila. Nur Misuari adalah anak orang miskin dari suku Tausug di Sulu yang memilih untuk meneruskan studinya di University of Philippines dengan mengambil studi ilmu Politik. Karies Misuari dalam sekolah sangatlah cemerlang, sehingga Misuari memperoleh gelar Doktor bahkan Professor dan menjadi salah satu pengajar di University of Philippine, sebagaimana halnya Cesar Adib Majul .
Di samping memilih studi di Manila, ada sebagian masyarakat Muslim Mindanao yang memilih studi di perguruan tinggi di Timur Tengah, baik di Arab Saudi maupun di Al-Azhar Mesir melalui program beasiswa yang ditawarkan pemerintah Arab Saudi. Salamat Hashim adalah salah satu anak bangsawan di Maguindanao yang memilih studi Keagamaan daripada studi politik sebagaimana halnya Nur Misuari. Selama studi Salamat Hashim menjadi ketua Ikatan Mahasiswa Filipina (Philippine Student’s Union) (1962) dan menjadi sekretaris jenderal Organisasi Mahasiswa Asia.
Salamat Hashim juga memiliki jaringan Islam internasional yang sangat luas di kemudian hari karena beberapa teman kuliahnya di Mesir, seperti Burhanuddin Rabbani dan Abdul Rasul Sayyaf, dikemudian hari menjadi pimpinan pada kelompok mujahidin yang anti-Soviet di Afghanistan.7 Sekembalinya ke Cotabato, Hashim mulai tertarik kepada politik separatis, serta menjadi salah satu calon pertama untuk memimpin Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National Liberation Front/MNLF).
MNLF merespon aktivitas represif dari dari pemerintahan Marcos dengan melakukan pengiriman kader-kader militant MNLF ke luar negeri untuk menjalani latihan militer dengan bantuan dari elit kasultanan di Mindanao yang kecewa dengan kebijakan pemerintah Marcos. Gelombang pertama pengiriman pelatihan kombatan MNLF, atau yang dikenal sebagai “Top 90” dan termasuk ketua MNLF Nur Misuari, di Pulau Pangkor dekat Pulau Pinang di Malaysia melalui fasilitasi Libya.
Pada tahun 1970, gelombang pelatihan kombatan menyusul yang kemudian dikenal sebagai “Gelombang 300” termasuk Al-Haj Murad, yang menggantikan Hashim selaku ketua MILF setelah kematiannya pada Juli 2003. Dan diikuti dengan “Gelombang 67” atau Kelompok Bombardir, yang membawa keahlian baru dalam penggunaan artileri ringan dari Malaysia. Selanjutnya Libya menggantikan Malaysia sebagai tempat pelatihan utama mulai pertengahan 1970an, dan selama tahun 1980an ditambah lagi dengan Syria, kamp-kamp PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Timur Tengah, dan Pakistan.
Untuk memahami dinamika penyebab konflik Mindanao, diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif tentang struktur sejarah konflik di Mindanao. Mindanao pada hakekatnya adalah kepulauan yang terdiri dari beberapa pula besar, maupun yang kecil dengan segala bentuk keragamannya. Namun semenjak abad ke 12 seiring dengan mulai masuknya Islam di kawasan ini, Islam telah menjadi identitas dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Maguindanao dan Sulu.
Terdapat beberapa aksentuasi untuk melihat dinamika konflik di Mindanao Pertama, Mindanao sendiri merupakan sebuah gugusan kepulauan yang sebelum abad ke 20 didominasi oleh penduduk Muslim dengan berdirinya dua kasultanan besar yakni Kasultanan Sulu dan Maguindanao di sekiatar abad ke 13 M. Kedua kasultanan Islam di Mindanao ini ada kecederungan saling berkompetisi satu sama lain dalam memperebutkan pengaruh kepada sekitar 13 etnik yang ada di sekitar kepulauan Mindanao. Dalam konteks ini, ada kecenderungan konflik Mindanao merupakan cerminan konflik etnis, yakni antar komunitas etnis Muslim di Mindanao.
Aksentuasi yang kedua adalah konflik antara komunitas muslim Mindanao dengan komunitas etnis Visayas atau Filipino yang melakukan politik migrasi ke arah selatan. Perpindahan penduduk ini menjadi masalah yang serius tatkala sekelompok etnis Ilaga dengan dibantu oleh pasukan Filipina melakukan politik genocide di awal dekade 1970-an. Sejarah konflik ini juga masih mengedepankan corak konflik etnis, etnis Ilaga yang melakukan pembantaian kepada komunitas Muslim mengidentikan diri sebagai kelompok Katolik yang juga ada kecenderungan dibiarkan oleh pemerintahan Marcos sehingga dalam batas tertentu berkembang isu besar telah terjadi konflik antar agama di Mindanao sebagai sebuah cerminan dari perang Salib. Karena alasan inilah kemudian Nur Misuari melakukan internasionalisasi konflik Mindanao ke dunia Islam agar komunitas Islam memberikan bantuan bagi komunitas Islam Mindanao.
Aksentuasi ketiga, yakni telah terjadi pergeseran peta aktor konflik dari bentuk konflik etnis menjadi konflik separatism, yakni adanya keinginan dari masyarakat Muslim Mindanao yang kemudian mengidentifikasi diri sebagai Bangsamoro untuk melakukan politik pemisahan diri sebagai respon dari berbagai ketidakadilan yang diterima masyarakat Muslim Mindanao baik oleh pemerintah Filipina. Sehingga dalam bentuk perlawanan kepada pemerintah Filipina, masyarakat muslim Mindanao mempergunakan konsep Moro dibandingkan dengan Mindanao. Konflik yang bernuansakan separatisme ini berlangsung sangat lama, bahkan sampai saat ini gejala konflik di Mindanao lebih difahami sebagai bentuk konflik separatis dibandingkan dengan konflik primordialis. Ada kecenderungan besar bahwa sulit terselesaikannya konflik di Mindanao karena dalam konflik Mindanao telah melahirkan suatu lingkaran konflik yang kompleks baik dari sisi aktor, issue dan kepentingan-kepentingan baik nasional dan internasional bagi berlangsungnya konflik.
Aksentuasi yang keempat adalah semakin kompleksnya peta aktor konflik di Mindanao karena merupakan sebuah relasi konflik antar aktor dengan munculnya dua kekuatan besar yakni etnis Lumad, sebuah etnis local yang masih menganut agama local yang senantiasa mengidentifikasi diri sebagai fihak yang paling sah untuk mewarisi Mindanao dan ditambah dengan hadirnya kelompok bersenjata yang berhaluan komunis, NPA (National People Army). Sedangkan dari sisi komunitas muslim Mindanao juga semakin bervariasi semenjak diselenggarakannya perjanjian damai antara pemerintah Filipina dengan Muslim Mindanao, Tripoli Agreement 1971 yang justru menyebabkan timbulnya faksionalisasi dalam tubuh gerakan perlawanan MNLF (Moro National Liberation Front) dengan lahirnya organisasi perlawanan baru seperti MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan ASG (Abu Sayyaf Group).
Antar kelompok ini ada kecenderungan memiliki derajat independensi satu sama lain. Kelompok satu dengan yang lainnya saling memberikan klaim bahwa kelompoknya-lah yang paling representatif mewakili masyarakat Mindanao atupun Bangsamoro. Demikian dengan pula kebijakan pemerintah dalam melakukan pendekatan terhadap kelompok–kelompok ini juga cenderung tidak saling kompatibel. Pada saat tertentu melakukan politik kompromi pada satu kelompok, namun sekaligus melakukan politik represif terhadap kelompok yang lain. Semisal di era pemerintahan Estrada, MNLF mendapatkan tempat yang signifikan di dalam pemerintahan Filipina namun kepada kelompok perlawanan yang lain diberlakukan kebijakan represif atau all-out-war terhadap kelompok MILF, NPA, ataupun Abu Sayyaf
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan